Halaman

Tulisan yang berada di blog ini terdiri dari berbagai tulisan yang ditulis dengan asal-asalan. Maksudnya asal dari segala macam asal, seperti asal nulis, asal kena, asal jadi, asal enak, asal mood, asal ingin, asal dibaca, asal berguna, dan asal-asal yang lain. Namun bukan asal jiplak, asal nyalin, asal nyadur atau asal yang bisa merugikan orang lain. Siapapun boleh mengomentari, membaca, menyalin, mencetak, mempublikasikan, menerbitkan, ataupun hal yang senada dengan itu tapi harus ingat akan pencantuman nama penulis dan alamat blog ini dalam media yang digunakan untuk pelaksanaan hal atau proses tersebut.

Rabu, 05 November 2025

Belajar Ikhlas dari Hal-hal yang Pergi

 


Pembuka:

Tidak ada yang benar-benar tinggal selamanya.
Semuanya datang untuk kemudian pergi — entah perlahan, entah tiba-tiba.
Kita hanya penonton dalam drama waktu, yang kadang lupa bahwa setiap pertemuan pasti punya perpisahan.

Namun di balik rasa kehilangan, selalu ada ruang kecil bernama ikhlas.
Tempat di mana air mata akhirnya berhenti, dan hati mulai belajar menerima bahwa segala yang pergi bukanlah akhir, melainkan cara semesta mengosongkan ruang untuk sesuatu yang baru.


Bagian 1: Ketika Segalanya Harus Pergi

Ada masa di mana kita menggenggam terlalu erat,
takut kehilangan, takut sepi, takut sendiri.
Tapi hidup punya caranya sendiri untuk melepaskan sesuatu yang memang bukan untuk kita.
Kadang perlahan, kadang sekaligus — menyakitkan, tapi perlu.

Dan di sanalah kita belajar:
bahwa tak semua yang kita cinta harus tinggal,
tak semua yang pergi harus dikejar.
Karena yang benar-benar untuk kita, akan selalu menemukan jalan pulang — bahkan tanpa diminta.


Bagian 2: Tentang Orang-Orang yang Datang dan Pergi

Beberapa orang datang membawa cahaya, lalu pergi meninggalkan bayangan.
Ada yang mengajarkan tawa, ada yang mengajarkan luka.
Tapi semua, tanpa terkecuali, mengajarkan sesuatu.

Ada yang datang untuk menumbuhkan,
ada yang datang hanya untuk menunjukkan bahwa kita pernah mampu mencinta.
Dan meskipun mereka akhirnya pergi,
jejaknya tetap tinggal — bukan untuk disesali, tapi untuk diingat dengan lembut.

Mungkin mereka bukan takdir,
mungkin mereka cuma “pengantar rasa” sebelum kita benar-benar mengerti arti kehilangan.


Bagian 3: Ikhlas Itu Bukan Tentang Lupa

Banyak orang bilang, “Kalau udah ikhlas, harusnya udah lupa.”
Padahal tidak selalu begitu.
Ikhlas bukan soal melupakan,
tapi tentang mengingat tanpa rasa sakit.

Ikhlas itu ketika kamu bisa tersenyum meski kenangan masih terasa.
Ketika kamu bisa bilang, “Dulu aku sedih, tapi sekarang aku paham kenapa itu harus terjadi.”
Ikhlas bukan berarti tak peduli,
justru karena kamu pernah peduli sedalam itu, kamu belajar melepaskan dengan lembut.


Bagian 4: Belajar dari Hal-Hal yang Hilang

Setiap kehilangan membawa pelajaran:
tentang sabar, tentang harapan, tentang bagaimana hati manusia bisa tumbuh dari reruntuhan.
Kita belajar bahwa cinta tak harus memiliki,
bahwa doa kadang lebih kuat daripada genggaman,
dan bahwa diam bisa jadi cara paling indah untuk mencintai dari jauh.

Hal-hal yang pergi mengajarkan kita untuk menghargai hal-hal yang masih tinggal.
Mengajarkan bahwa dunia ini tak perlu sempurna untuk tetap indah.


Penutup:

Akhirnya, kita akan sadar —
bahwa ikhlas bukan akhir dari rasa, tapi bentuk tertinggi dari cinta.
Cinta yang tak menuntut balasan, tak memaksa untuk dimengerti,
tapi cukup tenang melihat yang pernah dicinta berjalan di jalannya sendiri.

Dan di titik itu, kita berhenti bertanya, “Kenapa harus pergi?”
Karena kita tahu, beberapa hal memang tak seharusnya dimiliki selamanya —
cukup dirasakan, dan disyukuri karena pernah datang.


Tulisan puitis tentang belajar ikhlas dari hal-hal yang pergi. Refleksi lembut mengenai kehilangan, penerimaan, dan cinta yang tumbuh dalam keheningan. Cocok untuk renungan malam dan pengingat bahwa melepaskan juga bentuk dari mencinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar