Tulisan yang berada di blog ini terdiri dari berbagai tulisan yang ditulis dengan asal-asalan. Maksudnya asal dari segala macam asal, seperti asal nulis, asal kena, asal jadi, asal enak, asal mood, asal ingin, asal dibaca, asal berguna, dan asal-asal yang lain. Namun bukan asal jiplak, asal nyalin, asal nyadur atau asal yang bisa merugikan orang lain. Siapapun boleh mengomentari, membaca, menyalin, mencetak, mempublikasikan, menerbitkan, ataupun hal yang senada dengan itu tapi harus ingat akan pencantuman nama penulis dan alamat blog ini dalam media yang digunakan untuk pelaksanaan hal atau proses tersebut.

Minggu, 21 Maret 2010

Akhirnya Usahaku Berbuah Juga

Mulai hari ini aku bangun pagi-pagi untuk mengambil sekitar 30 biji molen jumbo yang biasa disebut dengan molen Arab, karena ukurannya yang sangat besar sehingga cukup untuk pengganti nasi uduk di RC. Selain mengenyangkan harganya juga lumayan murah untuk kantong mahasiswa, sehingga semua bisa habis dalam sekejap saja. Untung yang kudapatkan dari penjualan molen ini lumayan untuk tambahan pemasukan selain dari penjualan pulsa, madu, dan fotokopi di kelas. Setelah keliling membangunkan para mahasiswa yang menghuni gedung C2 Asrama Putra TPB untuk beli molen, aku langsung menuju kamar no. 151 untuk istirahat sambil menghitung uang hasil penjualan molen pagi ini untuk ditambahkan sebagai modal jualan pulsa yang akan kusetor pagi ini sebelum kuliah yang dimulai pada pukul 10:00. Pagi ini aku setor sebesar Rp. 200.000,00 , jumlah ini bisa habis hanya dalam 1,5 hari. Sehingga aku nggak pernah ragu untuk mengeluarkan uang sebesar itu meskipun baru berjualan pulsa 3 hari.
Jam tanganku menunjukkan pukul 9:00, waktuku untuk menyiapkan segala sesuatu sebelum berangkat ke kampus. Beberapa diantaranya adalah barang-barang yang memang harus sudah berada di dalam tas, antara lain: madu pesanan sebanyak 3 botol, uang untuk pengambilan pesanan fotokopi yang besarnya sekitar Rp. 180.000,00, telepon genggam untuk berjualan pulsa dan komunikasi, dan alat-alat tulis seperti pena, serta bahan-bahan kuliah seperti modul dan buku pegangan. setelah semua beres aku tinggal ganti baju, pakai minyak wangi, sisir rambut, dan berangkat ke kampus. Namun sebelum ke kampus aku setor uang ke temanku untuk ditambahkan sebagai deposit pulsa. Setelah itu kumampir dulu ke tempat fotokopian langgananku yang harga fotokopinya lumayan murah untuk mengambil hasil pesanan fotokopi sebanyak 100 jilid yang tebal masing-masing sekitar 25 halaman. Meskipun fotokopiannya lumayan berat, ini untuk menghidupi diriku juga. Sehingga tidak ada alasan untuk menyerah dalam menjalani roda kehidupan dan menuju suatu harapan yang indah ini.
Sesamapinya di depan kelas dengan membawa kardus berisi fotokopian bahan kuliah aku merasakan sesuatu hal yang tidak biasa terjadi pada detak jantungku yang berdegup semakin kencang, denyut nadiku yang semakin tidak beraturan, dan perasaan yang tidak karuan saat melihat sesosok wanita yang teramat-amat sangat indah bagai kurva integral logaritma sinus dengan variasi pangkat aljabar yang berliku-liku membuat pikiranku melayang selama 1/100 jarak matahari dan bumi yang ditempuh dengan kecepatan cahaya. Ditambah dengan senyuman selembut hasil evapotranspirasi dari padang rumput di hari yang terik membuatku semakin lama berjalan melintasi kurva deferensial fungsi parametrik. Sedangkan sebelumnya tidak pernah terjadi sesuatu yang seperti ini. Tidak lama berselang terdengar suara lembut, “Ahmad, kamu bawa fotokopi apa?”.
“Ini fotokopi slide kalkulus yang diberi sama dosen kemarin, Awin sudah pesan, kan?” tanyaku pada pemilik wajah yang sangat elok itu.
“Maaf belum, bisa pesen sekarang nggak?” tanyanya dengan sedikit memohon.
“Bisa saja, namun tidak bisa hari ini.”
“Ya udah nggak apa-apa. Gimana kalau besok pagi aja?”
“Oke dah kalau begitu.”
“Eh, madu pesana Eny sudah dibawa belum?”
“Ada nih di tas.”
“Ini uangnya, sekalian juga tolong isiin pulsaku 20 ribu dan pesan madu 1 botol.”
“Oke bos, pulsamu 2 menit lagi sampai, madumu waktu kuliah sore nanti sudah dapat diambil. Sudah capek nih berdiri terus sambil bawa kardus seberat ini, nanti lagi ya ngobrolnya.” Akupun menuju tempat duduk paling depan untuk menaruh kardus berisi kertas ini, serta istirahat sebentar sambil menyiapkan alat tulis dan buku pegangan sebelum perkuliahan dimulai. Sedangkan dia ngobrol dulu dengan temannya yang baru datang sebelum mencari tempat duduk yang tentunya sangat cocok baginya. Akupun mulai berfikir kalau dia bisa mendampingiku setiap hari meskipun peluangnya hampir mendekati nol
Seperti itulah hari-hariku yang kugunakan untuk mencari ilmu dan uang yang akan kugunakan sebagai modal untuk menikahi wanita yang menjadi pujaan hati dan jiwa, meskipun jauh di kampung halaman.

Malam ini adalah malam yang sangat indah untuk melamunkan diri bisa bersanding dengan si pujaan hati yang memang telah lama kutunggu waktunya. Ditambah dengan keindahan langit dengan taburan bintang-bintang dan bulan purnama bagai laut dengan ikan-ikannya, selain itu teman-teman lorongku yang biasa menciptakan polusi suara sekarang tampak sunyi bagai ditelan ombak. Perasaanku semakin menjadi-jadi, namun ada saja yang mengganggu, yaitu suara telepon genggam berdering dengan kencangnya, namun tidak ada nomor telepon yang tertera disana, sehingga cepat-cepat kuangkat.
“Assalammu'alaikum.”
“Wa'alaikummussalam.” jawab dari seorang wanita yang sepertinya suara ini pernah kukenal.
“Coba kutebak, kamu Lilis ya?”
“Kok tahu sih? Sedangkan kamu tidak tahu nomor telepon ini.”
“Ya tahulah suara seperti ini memang ada yang punya selain kamu.”
“bener juga katamu, sekarang aku ingin memberi tahumu berita baik bahwa besok aku mau tunangan.”
“Bagus dong kalau gitu, emang mau tunangan sama siapa?”
“Yang penting ada aja, nanti kamu juga tahu.”
“Dengan Arifin ya?”
“Bukan dengan dia, karena dia seminggu lagi ingin nikah.”
“Dengan siapa Lis?”
“Dengan Sinta.”
“Sinta mana?” tanyaku dengan penasaran.
“Sinta anak kelas bahasa.”
Teleponku langsung kututup setelah mendengar kabar tersebut yang memang tidak ingin kudengar. Hatiku menjadi gundah mendengar bahwa wanita yang beberapa bulan lagi ingin kulamar telah diambil oleh teman dekatku sendiri. Langitpun tiba-tiba mendung dengan petir yang menyambar-nyambar diteruskan dengan hujan lebat menghilangkan harapan yang telah kupupuk selama bertahun-tahun. Usahaku sekarang bagai tiada berarti apapun. Teman sekamarku tiba-tiba bangun dari tidurnya dan menatapku, sehingga kuceritakan apa yang telah terjadi, diapun juga ikut merasakan apa yang sedang kurasakan.
“Kalau memang Sinta menikah dengan Arifin, mungkin Allah telah menyiapkan seorang wanita yang lebih baik daripada Sinta, seharusnya kamu bahagia karena Sinta mendapatkan orang yang memang dia percaya untuk memimpinnya, dan Arifin bisa menyelesaikan setengah dari agamanya, sebagai seorang sahabat seharusnya kamu senang. Selain itu Allah pasti akan memberimu seorang yang lebih baik daripadanya, maka tabahkanlah dirimu dalam berusaha agar bisa menikahi wanita yang telah Allah sediakan untukmu itu.” nasehat darinya.
“Namun Sintalah yang kucinta dan bagaimana dengan aku?”
“Bila Allah berkehendak sesuatu akan hamba-Nya, hamba tersebut akan berusaha melakukannya, begitu pula takdir Allah yang tiada diketahui oleh hambanya, jika kamu berusaha menjadi hamba yang baik, Allah akan memberikan sesuatu yang terbaik pula, dan kamu tidak akan merasakan sesal. Kamupun pasti sudah tahu sebelumnya karena waktu SMA menjadi anggota rohis.”
Tak berselang berapa lama aku segera mengambil air wudhu, kulakukan sholat taubat, dan berdo'a kepada-Nya agar pernikahan Arifin dan Sinta bisa berjalan dengan lancar dan dapat menjadi keluarga yang sakinah. Dan aku bisa mendapatkan bidadari yang lebih baik daripada Sinta. Begitu pula dengan usahaku sekarang yang berorentasi pada keuntungan bisa menjadi usaha yang berorentasi pada ridho Allah. Dan agar aku bisa semakin tabah menghadapi segala macam cobaan ini.

Hari ini adalah hari yang sangat indah dengan bisa menjalankan sholat subuh berjamaah, dan membangunkan teman-teman tidak hanya untuk berjualan molen, namun sekalian berbagi pahala sholat subuh dengan mengingatkan. Begitu pula hari-hari selanjutnya kujalani dengan semangat penuh karena kecintaanku kepada Allah tidak terbagi lagi. Sebulan, dua bulan pun tidak terasa, hari-hariku semakin indah, tawaran-tawaran bisnispun banyak mendekatiku, begitu pula pemahaman materi kuliah semakin meningkat, sehingga tidak ada sela untuk bersedih atau meratapi ketidakenakan di masa lalu.
Suatu ketika aku berkenalan dengan Pak Edy, beliau memberiku sebuah proyek usaha yang memang sangat besar peluangnya untuk dilakukan. Akupun memenuhi orderan Pak Edy dengan senang hati sehingga aku dalam waktu sebulan bisa membuka cabang dari usaha tersebut dan prestasiku di kampus membaik pula. Tidak lama Pak Edy menawariku untuk menikah dengan anaknya, aku mengiyakan tawaran Pak Edy setelah membicarakan segala sesuatu yang mungkin menjadi penghalang meskipun aku belum pernah mengetahui siapa anak Pak Edy yang ingin dinikahkan denganku.
Setiap hari aku semakin bertanya-tanya akan alasan Pak Edy menikahkan anaknya denganku sehingga aku datang langsung ke rumah Pak Edy pada hari libur untuk memastikan saja. Sesampainya disana, aku melihat rumah yang begitu asri yang memang dirawat sendiri oleh Pak Edy sekeluarga tanpa adanya pembantu. Sesuatu yang begitu kontras dengan pikiranku yang memandang bahwa orang sekaya Pak Edy mempunyai rumah besar menyerupai istana dengan beberapa pembantu di dalamnya dan supir yang selalu mengantarkannya ke tempat yang ingin dituju. Selang sekitar 10 detik setelah kupencet bel rumah Pak Edy keluar seorang wanita cantik berjilbab yang sepertinya pernah kukenal, dia adalah Awin yang memang sudah beberapa minggu ini tidak berjumpa karena liburan semester.”Assalammu'alaiku
m”
“Wa'alaikummussalam, Ahmad nyari bapak ya?”
“Lho kamu kok tahu?”
“Tadi bapak pesen, kalau Ahmad akan kesini untuk membicarakan hal yang memang sangat penting.” sambil mengajakku masuk ke rumah.
“Emang sekarang bapak kemana?”
“Bapak pergi sebentar menjenguk temannya yang kecelakaan kemarin.”
“Ahmad, kamu sudah datang toh? Bapak sebentar lagi juga pulang.” sapa Bu Edy saat aku sampai di ruang tamu. Sedangkan Awin pergi ke belakang.
“Assalammu'alaikum.” terdengar suara dari luar.
“Wa'alaikummussalam” jawab kami serempak.
“Awin, bapak sudah datang tuh. Tolong bukain pintunya.” perintah Bu Edy kepada anaknya.
“Iya, Bu.” jawab Awin dengan suara lembutnya.
Beberapa menit kemudian aku bercakap-cakap dengan Bapak dan Ibu Edy, namun Awin berada di dalam tidak mengikuti pembicaraan kami sehingga Pak Edy memanggilnya.
“Awin, Ahmad, sekarang kalian berada disini. Bapak mau tanya, namun jawab dengan jujur?”
“Yang Bapak maksud itu apa?” tanya Awin ke bapaknya.
“Tolong jangan disela dulu omongan Bapak. Bapak hanya mau bertanya. Apakah kalian bersedia untuk bapak nikahkan?”
“Saya bersedia.” jawab Awin.
“Saya sangat bersyukur.” jawabku.
“Kenapa kalian langsung setuju dengan keputusan saya? Sedangkan Bapak juga tidak memaksa, hanya menanyakan saja.” tanya Pak Edy.
“Karena Ahmad sudah kenal dan mengagumi anak bapak yang tidak hanya berparas sangat cantik namun sangat luar biasa bagi saya.” jawabku.
“Saya sudah suka sama Ahmad sebelum dia sukses seperti sekarang, meskipun Ahmad miskin saya juga bersedia jadi istrinya karena orangnya jujur, mudah bergaul, punya komitmen, dan bekerja keras.” jawaban yang sungguh dahsyat dari seorang gadis yang akan kunikahi.
“Dua hari lagi kalian akan melaksanakan akad nikah. Ahmad, tolong ajak orangtuamu kesini. Segala sesuatu sudah Bapak siapkan. Ahmad hanya tinggal siapin maskawinnya saja. Bapak harap tidak ada yang protes.”

Dua hari kemudian, aku dan Awin melakukan akad nikah dan bersanding sebagai suami istri di pelaminan. Pada acara ini banyak teman-teman kuliah yang kami undang, sehingga semua tahu akan hubungan kami sekarang. Setelah menikah aku semakin merasakan karunia Allah yang memang sangat berlimpah dengan penuh syukur. Begitu pula hari-hariku yang semakin indah dibuatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar