Pagi
ini tepat setelah sholat subuh Dini termenung, bukan karena seminggu
lagi dia akan mengadakan akad nikah dengan seorang lelaki yang telah
lama dia kagumi. Namun Dini malah memikirkan kondisi sekolah tempat ia
mengajar yang kondisinya masih jauh dari kata baik. Dia takut semangat
belajar anak didiknya yang begitu tinggi tidak tersalurkan dengan baik
dikarenakan kondisi ruangan yang telah lapuk dimakan usia.
Tepat
jam 7 pagi, pelajaran pertama di hari ini pun dimulai. Kelas terasa
ramai meski hanya terisi oleh 12 orang siswa kelas 3. Hal ini tidaklah
jauh berbeda dengan kondisi di dua kelas lainnya, yaitu kelas 1 dan 2.
Sedangkan kelas 4, 5, dan 6 harus mulai melakukan aktifitas belajar
siangnya dikarenakan 3 ruang kelas yang lain tidak layak untuk digunakan
lagi.
Sebelum
memulai pelajaran Dini mengabsen satu per satu muridnya. Dini tersenyum
waktu melihat antusias dari peserta didiknya yang selalu menyemangati
hari-harinya. Dalam senyuman itu terdapat rasa iba yang teramat dalam
karena belum bisa memfasilitasi mereka dengan selayaknya.
Waktu
istirahat tiba, anak-anak berlarian keluar kelas. Berselang kurang dari
satu menit terjadi perbincangan antara 3 orang guru yang selalu mengisi
hari-harinya dengan mengajar di sekolah ini dari pagi sampai petang.
“Aku
udah nggak betah di sekolah ini. Sepertinya pekan depan aku akan
mengajukan surat pengunduran diri mengajar di sini.” Bu Eni memulai
percakapan yang membuatku kaget
“Kenapa Bu?” tanya kami
“Sekolah
semacam ini tidak berprospek untuk perkembangan karir di masa yang akan
datang. Lagipula dengan skill yang kita miliki, kita bisa mengajar di
sekolah yang kondisinya jauh lebih baik dengan jumlah murid yang jauh
lebih banyak”
“Bukankah pendidikan terbaik itu justru sangat dibutuhkan mereka yang ada di wilayah terpencil seperti ini Bu?”
“Iya Bu Dini, tapi seperti yang aku bilang tadi, karir kita nggak bisa maju kalau di tempat seperti ini.”
Dini termenung. Entah harus berucap apa.
Sepulang
sekolah, ketika hendak keluar kelas, Dini dikejutkan dengan seseorang
yang hadir di depan pintu kelas. Hafid sudah berdiri disana, melemparkan
seutas senyum pada wajah letihnya.
“Pulang bareng yuk” Dini mengangguk.
Mereka
pulang dengan berboncengan di motor. Sekitar 5 menit berselang di
perjalanan, Hafid mengajak Dini untuk makan bakso di tempat biasa mereka
berbincang dari masalah keluarga, sekolah, pekerjaan, dan tentunya
cinta yang telah mengakar di hati keduanya.
Sambil
menunggu bakso yang mereka pesan, Hafid memulai percakapan dengan
bertanya kepada Dini mengenai kabar di sekolah hari ini. “Gimana
ngajarnya hari ini?”
“Seperti
biasa. Pak Umar dengan gayanya yang kocak telah mampu menghilangkan
rasa benci anak-anak akan matematika menjadikan mereka menggandrungi
pelajaran itu. Ada pula cerita mengenai anak kelas 5 yang patah hati
setelah melihat teman perempuan yang ditaksirnya bergandengan tangan dan
berduaan dengan anak yang lain.”
“hehehe. Emang anak SD sudah mengenal cinta ya? Sampai ada yang merasa patah hati.”
“Ya seperti itulah. Namanya juga zaman udah berubah dengan cepatnya.”
“Benar juga. Sekarang anak SD sudah main cinta-cintaan, sedangkan mas dulu baru mengenal cinta waktu SMA.”
“Dan Eni pacar pertama mas, ya kan?”
“Baksonya enak banget ya.”
“Tuh kan dah alihin pembicaraan.”
“Iya maaf. Gimana kabar Eni?”
“Masih tanyain dia aja” jawab Dini dengan nada ngambek, “Emang siapa calon istri mas? Aku atau Eni?”
“Ya adek lah, kan mas sayang sama adek dan sudah melamar adek.”
“Namun itu saja kurang untuk bukti kalau mas sayang sama adek.”
“Jadi adek mau bukti dalam bentuk apa?”
“Pertama, selama 2 bulan ini Pak Sholikin gak bisa ngajar dikarenakan sakit.”
“Selain itu Eni sekarang sudah memutuskan untuk pindah ke sekolah lain yang menurut dia lebih prospek.”
“Mas pernah minta agar bisa ikut ngajar di sekolah kan?”
“Tapi…”
“Tapi
kenapa? Kan mas dah punya 2 kios rumah makan, 3 konter Hape dan
simpanan untuk bangun rumah kita nanti. Jadi mas bisa mulai ngajar besok
kan? Atau kita akhiri hubungan kita ini?”
“Iya dah, mas bersedia dengan tawaran itu.”
“Kedua”
“Apalagi? Belum cukupkah itu?”
“Belum cukup.”
“Jadi apalagi?”
“Adek
minta agar uang tabungan yang akan kita gunakan untuk membangun rumah
kita nanti dijadikan sebagai mahar untuk perbaikan sekolah tempat adek
mengajar saat ini.”
Hafid
terdiam sejenak sambil memandang sorot mata Dini yang terlihat serius
akan ucapannya. Sungguh kali ini Hafid ingin menangis, “namun apakah
pantas seorang lelaki seperti Hafid harus meneteskan air mata di depan
wanita yang ia dambakan untuk menjadi seorang pendamping hidupnya?”
Tanya Hafid dalam hati.
“Bila
mas tidak bersedia, maafkan adek yang telah memaksa mas akan mahar yang
nilainya cukup berarti bagi mas nanti. Adek akan tetap bersedia menjadi
isteri mas meski mas tidak memberikan mahar yang adek minta tadi.” Dini
menanggapi sikap diam Hafid dengan meminta maaf sambil meneteskan air
mata penyesalan.
“Mas
sangat bersyukur kepada Allah yang telah mempertemukan mas dengan
seorang wanita yang luar biasa dan dia sekarang berada di hadapan mas.
Bila seandainya dirinya meminta mas agar menjadikan semua tabungan dan
profit dari semua usaha mas sampai akhir usaha kelak sebagai mahar untuk
menikahinya mas pun rela. Karena tidak mungkin mas temukan orang yang
cintanya pada pendidikan melebihi dirinya.”
“Mas Hafid,terima kasih. Adek akan menjadi wanita terbaik yang berada di samping mas nanti.”
“Seharusnya mas berterima kasih pada adek yang telah membuka pintu hati mas.”
==TAMAT==
Tidak ada komentar:
Posting Komentar