Tulisan yang berada di blog ini terdiri dari berbagai tulisan yang ditulis dengan asal-asalan. Maksudnya asal dari segala macam asal, seperti asal nulis, asal kena, asal jadi, asal enak, asal mood, asal ingin, asal dibaca, asal berguna, dan asal-asal yang lain. Namun bukan asal jiplak, asal nyalin, asal nyadur atau asal yang bisa merugikan orang lain. Siapapun boleh mengomentari, membaca, menyalin, mencetak, mempublikasikan, menerbitkan, ataupun hal yang senada dengan itu tapi harus ingat akan pencantuman nama penulis dan alamat blog ini dalam media yang digunakan untuk pelaksanaan hal atau proses tersebut.

Rabu, 15 Februari 2012

Sekolahku Tercinta

Pagi ini tepat setelah sholat subuh Dini termenung, bukan karena seminggu lagi dia akan mengadakan akad nikah dengan seorang lelaki yang telah lama dia kagumi. Namun Dini malah memikirkan kondisi sekolah tempat ia mengajar yang kondisinya masih jauh dari kata baik. Dia takut semangat belajar anak didiknya yang begitu tinggi tidak tersalurkan dengan baik dikarenakan kondisi ruangan yang telah lapuk dimakan usia.
Tepat jam 7 pagi, pelajaran pertama di hari ini pun dimulai. Kelas terasa ramai meski hanya terisi oleh 12 orang siswa kelas 3. Hal ini tidaklah jauh berbeda dengan kondisi di dua kelas lainnya, yaitu kelas 1 dan 2. Sedangkan kelas 4, 5, dan 6 harus mulai melakukan aktifitas belajar siangnya dikarenakan 3 ruang kelas yang lain tidak layak untuk digunakan lagi.
Sebelum memulai pelajaran Dini mengabsen satu per satu muridnya. Dini tersenyum waktu melihat antusias dari peserta didiknya yang selalu menyemangati hari-harinya. Dalam senyuman itu terdapat rasa iba yang teramat dalam karena belum bisa memfasilitasi mereka dengan selayaknya.
Waktu istirahat tiba, anak-anak berlarian keluar kelas. Berselang kurang dari satu menit terjadi perbincangan antara 3 orang guru yang selalu mengisi hari-harinya dengan mengajar di sekolah ini dari pagi sampai petang.
“Aku udah nggak betah di sekolah ini. Sepertinya pekan depan aku akan mengajukan surat pengunduran diri mengajar di sini.” Bu Eni memulai percakapan yang membuatku kaget
“Kenapa Bu?” tanya kami
“Sekolah semacam ini tidak berprospek untuk perkembangan karir di masa yang akan datang. Lagipula dengan skill yang kita miliki, kita bisa mengajar di sekolah yang kondisinya jauh lebih baik dengan jumlah murid yang jauh lebih banyak”
“Bukankah pendidikan terbaik itu justru sangat dibutuhkan mereka yang ada di wilayah terpencil seperti ini Bu?”
“Iya Bu Dini, tapi seperti yang aku bilang tadi, karir kita nggak bisa maju kalau di tempat seperti ini.”
Dini termenung. Entah harus berucap apa.
Sepulang sekolah, ketika hendak keluar kelas, Dini dikejutkan dengan seseorang yang hadir di depan pintu kelas. Hafid sudah berdiri disana, melemparkan seutas senyum pada wajah letihnya.
“Pulang bareng yuk” Dini mengangguk.
Mereka pulang dengan berboncengan di motor. Sekitar 5 menit berselang di perjalanan, Hafid mengajak Dini untuk makan bakso di tempat biasa mereka berbincang dari masalah keluarga, sekolah, pekerjaan, dan tentunya cinta yang telah mengakar di hati keduanya.
Sambil menunggu bakso yang mereka pesan, Hafid memulai percakapan dengan bertanya kepada Dini mengenai kabar di sekolah hari ini. “Gimana ngajarnya hari ini?”
“Seperti biasa. Pak Umar dengan gayanya yang kocak telah mampu menghilangkan rasa benci anak-anak akan matematika menjadikan mereka menggandrungi pelajaran itu. Ada pula cerita mengenai anak kelas 5 yang patah hati setelah melihat teman perempuan yang ditaksirnya bergandengan tangan dan berduaan dengan anak yang lain.”
“hehehe. Emang anak SD sudah mengenal cinta ya? Sampai ada yang merasa patah hati.”
“Ya seperti itulah. Namanya juga zaman udah berubah dengan cepatnya.”
“Benar juga. Sekarang anak SD sudah main cinta-cintaan, sedangkan mas dulu baru mengenal cinta waktu SMA.”
“Dan Eni pacar pertama mas, ya kan?”
“Baksonya enak banget ya.”
“Tuh kan dah alihin pembicaraan.”
“Iya maaf. Gimana kabar Eni?”
“Masih tanyain dia aja” jawab Dini dengan nada ngambek, “Emang siapa calon istri mas? Aku atau Eni?”
“Ya adek lah, kan mas sayang sama adek dan sudah melamar adek.”
“Namun itu saja kurang untuk bukti kalau mas sayang sama adek.”
“Jadi adek mau bukti dalam bentuk apa?”
“Pertama, selama 2 bulan ini Pak Sholikin gak bisa ngajar dikarenakan sakit.”
“Selain itu Eni sekarang sudah memutuskan untuk pindah ke sekolah lain yang menurut dia lebih prospek.”
“Mas pernah minta agar bisa ikut ngajar di sekolah kan?”
“Tapi…”
“Tapi kenapa? Kan mas dah punya 2 kios rumah makan, 3 konter Hape dan simpanan untuk bangun rumah kita nanti. Jadi mas bisa mulai ngajar besok kan? Atau kita akhiri hubungan kita ini?”
“Iya dah, mas bersedia dengan tawaran itu.”
“Kedua”
“Apalagi? Belum cukupkah itu?”
“Belum cukup.”
“Jadi apalagi?”
“Adek minta agar uang tabungan yang akan kita gunakan untuk membangun rumah kita nanti dijadikan sebagai mahar untuk perbaikan sekolah tempat adek mengajar saat ini.”
Hafid terdiam sejenak sambil memandang sorot mata Dini yang terlihat serius akan ucapannya. Sungguh kali ini Hafid ingin menangis, “namun apakah pantas seorang lelaki seperti Hafid harus meneteskan air mata di depan wanita yang ia dambakan untuk menjadi seorang pendamping hidupnya?” Tanya Hafid dalam hati.
“Bila mas tidak bersedia, maafkan adek yang telah memaksa mas akan mahar yang nilainya cukup berarti bagi mas nanti. Adek akan tetap bersedia menjadi isteri mas meski mas tidak memberikan mahar yang adek minta tadi.” Dini menanggapi sikap diam Hafid dengan meminta maaf sambil meneteskan air mata penyesalan.
“Mas sangat bersyukur kepada Allah yang telah mempertemukan mas dengan seorang wanita yang luar biasa dan dia sekarang berada di hadapan mas. Bila seandainya dirinya meminta mas agar menjadikan semua tabungan dan profit dari semua usaha mas sampai akhir usaha kelak sebagai mahar untuk menikahinya mas pun rela. Karena tidak mungkin mas temukan orang yang cintanya pada pendidikan melebihi dirinya.”
“Mas Hafid,terima kasih. Adek akan menjadi wanita terbaik yang berada di samping mas nanti.”
“Seharusnya mas berterima kasih pada adek yang telah membuka pintu hati mas.”
==TAMAT==
Kolaborasi dengan Dyah Restyani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar