Tulisan yang berada di blog ini terdiri dari berbagai tulisan yang ditulis dengan asal-asalan. Maksudnya asal dari segala macam asal, seperti asal nulis, asal kena, asal jadi, asal enak, asal mood, asal ingin, asal dibaca, asal berguna, dan asal-asal yang lain. Namun bukan asal jiplak, asal nyalin, asal nyadur atau asal yang bisa merugikan orang lain. Siapapun boleh mengomentari, membaca, menyalin, mencetak, mempublikasikan, menerbitkan, ataupun hal yang senada dengan itu tapi harus ingat akan pencantuman nama penulis dan alamat blog ini dalam media yang digunakan untuk pelaksanaan hal atau proses tersebut.

Rabu, 15 Februari 2012

Kosong atau Berisi?

Dipinggir jalan terjadi percakapan antara dua orang pemuda.
Pemuda pertama,"Tong itu kosong"
Pemuda kedua,"Tong itu berisi"
"Kosong"
"Berisi"
"Sungguh tong itu kosong"
"Tidak tong itu berisi"
Datanglah seorang yang lebih sepuh dari mereka, lalu dia membuka tutup tong yang kedua pemuda itu ributkan. Kedua pemuda itu terdiam dan membisu.
Orang sepuh itu berkata, "Janganlah kalian meributkan kosong dan berisi. Karena yang kalian lihat adalah sebuah tong. Jangan pula kalian meributkan pejabat-pejabat pemerintah yang tak kosong namun bukan berisi"

Semu

Mau ya, jadi cewekku ? Tulis seorang teman FB-ku barusan. Aku tercenung. Mengernyitkan dahi dan merasa sureprise. Aku menimang  yang akan ku tulis untuk menolak tanpa melukai hatinya terlalu dalam.
Halo… kamu di sana ? Aku tak bergeming. Tak bisa secepat itu menentukan jawaban. Menimang apa yang akan kukatakan. Alih-alih memberi jawaban, aku mengalihkan diri membaca artikel berita di internet.
Sepuluh, dua puluh,tiga puluh menit. Ku buka FB kembali. Dia sudah tak ada. Tampaknya sudah sign out. Pergi tanpa tahu apa jawabanku. Ah…aku bingung bagaimana menjawabnya. Jujur, aku nyaman dengannya. Tapi tidak lebih dari seorang kawan curhat dan diskusi. Selain itu, aku tak memiliki rasa apa pun. Lagipula aku tak percaya pada percintaan yang semu dan tak nyata seperti itu. Kata-kata dari dunia maya, bila bukan  dari orang  di dunia nyata sama saja omong kosong. Bullshit.
Lantas  bagaimana mesti menanggapinya ? aku tak ingin dia pergi seperti temanku yang lain. Tapi juga tak percaya dengan ucapannya… Aku tak percaya lagi dengan percintaan semu seperti itu. Cukup seorang Haga sebagai pertama dan terakhir dalam percintaan dunia maya. Cukup Haga. Tak perlu yang  lain.
Dua hari pun berlalu, dia terus menerus menanyakannya. Namun aku tetap tak memberi satu balasan meski kepalaku semakin bimbang. Apa dia serius akan hal ini? Atau aku akan menjadi orang kesekian yang nanti luka karena belum mengenalnya.
Tiba-tiba HP-ku berdering. Paggilan dari nomor baru. Rasanya tak ingin mengangkat. Tapi takut ada hal penting, sehingga aku angkat juga.
“Halo, benarkah ini nomor Tasya?” suara lelaki dari seberang.
“Benar, ini siapa ya?” jawabku.
“Rony. Boleh tanya nggak?”
Aku terdiam sesaat. Merasa aneh. Apa pernah  aku memberikan nomor HP ke dia? Seingatku tidak. Lantas, siapa yang memberi ?
“Kok diam?” tanyanya padaku.
“Tak apa. Kamu tahu nomorku dari siapa ?”
“Kan kamu nyantumkan nomormu di Fb…”, katanya. Ah.. iya, aku mencantumkan nomorku di sana.
“Ah..iya. Aku lupa…” Lalu aku diam. Rony juga diam. Semenit. Dua menit. Dadaku tak berhenti berdegup, membayangkan yang akan dikatakannya.
“Gimana jawabanmu yang tadi ?” Duh..pertanyaan yang kutunggu sekaligus tak ingin kujawab muncul juga. Aku diam. Lima puluh tujuh, lima puluh delapan, lima puluh sembilan, satu menit… aku menarik nafas dalam.
“…Rony…kamu adalah teman terbaikku di Fb. Seorang teman yang baik, yang selalu berusaha ada untukku. Tapi maaf…aku nggak bisa jadian sama kamu…”
“Kenapa ?”
“Aku tak percaya pada percintaan semu. Udah dulu ya…” Aku langsung memutuskan telepon. Takut dia menyanggahku. Aku sedang tak ingin berdebat. Lagipula aku tak sanggup menjawab pertanyaan yang nanti akan diajukannya.
Tert…tert… Hapeku terus bergetar beberapa kali setelah kusilence. Aku tak bergeming tiap kali melihat nomor Rony di sana. Aku menggigit bibir bawahku. Hatiku mencleos memperlakukannya begini.  Tapi tak tahu mesti bagaimana. Rony…maaf… Aku sangat menyebalkan. Maaf ya…
*
“Kamu…Tasya ?”tanya seorang pelayan saat dia menghampiri tempat dudukku. Aku mengangguk.
“…Iya, aku Tasya. Ada apa ?”
“…Eng..ini. Tadi ada seorang cowok titip surat untukmu.” katanya sambil mengangsurkan surat padaku. Aku menerimanya. Tiba-tiba perasaanku gelisah. Ada perasaan tak nyaman yang menyusup. Seperti pertanda yang tak ku inginkan.
“…Bang, apa..cowok tadi berbaju hitam dan bertopi merah ?” tanyaku. Si abang mengangguk yakin. Aku menelan ludah. Haga.
“…Abang yakin ?”
“Iya. Abang yakin.” Aku menggigit bibir bawahku. Air mata mulai menggenang. Sekuat tenaga berusaha kutahan. Aku memaksakan sebuah senyum.
“Terimakasih, Bang…” pelayan itu mengangguk lalu berbalik ke belakang, meninggalkanku seorang diri. Aku menunduk, menahan air mata sekuatnya. Kenapa Ga? Kenapa kamu tak mau bertemu denganku ? Aku buka surat itu.
Untuk Tasya,
Bersama surat ini, ku mohon maafkan aku. Aku seperti yang kau kenal, tak pintar berbasa-basi.  Lebih baik kita tak berhubungan lagi. Bukan apa-apa sepertinya kita tak bisa menjalin suatu hubungan lebih dari seorang teman. Maafkan aku.
Haga.
Air mata itu kemudian membuncah tanpa dapat ku cegah. Aku menangis sesenggukan sore itu. Aku tak peduli pada orang-orang. Masa bodoh. Rasanya hatiku sangat sakit. Sangat luka. Ada yang hilang dan menganga di sana.
*
“Tasya…” sayup aku dengar namaku dipanggil dan badanku digoncang. Rasanya seperti ditarik ke dalam tubuh. Perasaan ditarik yang memaksaku membuka mata.
“Tasya…”
Saat cahaya masuk ke dalam mata, kulihat mama sudah berada di samping tempat tidurku. Aku menarik nafas lega. Mimpi.
“Em…Mama…ada apa ?” aku mengucek mataku yang masih terasa berat. Aku beringsut dan bangun dengan malas.
“Ada surat untukmu.” kata mama sambil memberikan sepucuk surat. Aku menerimanya.
“Sudah sore. Jangan tidur lagi. Mandi sana. Lalu bantu mama di bawah.” kata mama memberi instruksi. Aku mengangguk. Lalu mama menutup kamarku. Aku mulai memperhatikan surat yang mama berikan. Warna jingga. Warna yang disukai Rony. Entah kenapa aku tersenyum mengingatnya. Aku membalik amplop itu, mencari nama pengirimnya. Rony Aryandha, dengan alamat Surabaya. Aku tersenyum melihatnya. Entah kenapa ada perasaan nyaman yang menyelimutiku. Aku mulai membaca surat itu.
Dear Tasya,
Hai… apa kabarmu di sana? Aku berharap kamu baik-baik saja dan senantiasa dalam perlindunganNya.  Alhamdulilah aku di sini baik secara fisik. Namun jujur, dalam hati aku merana. Tasya, aku merana menunggu jawabanmu. Aku merana menunggu kepastian darimu. Aku merana, karena aku tetap tak bisa percaya pada apa yang kamu katakan.
Aku merasa janggal, kenapa kamu menganggap hubungan kita nantinya hanya hubungan semu? Apakah karena hubungan kita dipertemukan dalam dunia maya? Apakah itu yang kamu maksud, sehingga kamu memutuskan untuk menghindar? Apakah nantinya, apabila kita dipertemukan dalam dunia nyata, maka kita bisa memulainya?
Banyak pertanyaan yang berkecamuk dalam kepalaku. Pertanyaan-pertanyaan yang ku harap menuju pada satu jawaban pasti. Pertanyaan yang jawabannya nanti ku harap dapat menenangkanku, menentramkanku, dan membuatku lega. Pertanyaan yang jawabannya aku harap jujur dari hatimu.
Aku ingin berkisah kepadamu. Tentang bagaimana aku bertemu dengan orang yang aku cinta.
Ceritanya di mulai dari bulan Juli dua tahun yang lalu, saat sepupuku datang dari Medan. Dia  sepupu terdekatku. Dulu kami sering main bersama sebelum dia pindah ke Medan. Kami berbagi cerita apa pun, termasuk pacar. Dia pernah bercerita tentang pacarnya di FB. Dia sangat menyukai gadis ini dan berharap dapat bertemu di dunia nyata. Saat itu aku hanya tertawa menanggapinya. Tapi entah kenapa, aku tertarik untuk tahu tentang gadis itu.
Kesempatan itu datang beberapa bulan kemudian, saat aku ke Medan. Dia bercerita kalau akhirnya memberanikan diri untuk bertemu gadis itu. Mereka janjian di Kafe Bunga jam 3 sore. Diam-diam aku pun datang ke kafe itu, sekedar ingin tahu gadis seperti apa yang sudah membuat sepupuku jatuh cinta. Aku datang ke sana lebih cepat dari waktu janjian mereka. Aku melihat gadis itu datang dan menunggu sepupuku dengan baju yang dijanjikan. Lalu, aku pun pulang ke rumah Oom.
Dalam perjalanan pulang, dia sms aku. Dia bilang akan membeli bunga dulu buat gadis pujaannya. Itu sms terakhirnya.
Kamu ingat? Hari itu hujan, motornya tergelincir masuk jurang dalam perjalanan ke kafe. Dia kritis selama beberapa jam sebelum benar-benar pergi dan tak pernah bangun lagi.
Dan aku ingat tentang gadis itu. Malam sebelum sepupuku pergi, dia memintaku untuk menjaga gadisnya. Seperti biasa, aku hanya tertawa menanggapinya. Mungkin itu semacam firasat.
Beberapa hari kemudian, aku sms gadis itu dan mengajaknya bertemu besok sore di jam dan kafe yang sama. Aku bilang akan memakai baju hitam dan topi merah, warna yang dipakai sepupuku di hari kepergiannya. Aku tak tahu lagi bagaimana menyampaikan berita duka pada gadis yang gelisah itu. Dan aku putuskan untuk menulis sepucuk surat padanya.
Aku tak bisa berkata apa-apa melihat gadis itu. Rasanya aku ikut sesak memandangnya dari kejauhan. Aku titipkan surat itu pada pelayan kafe dan pergi dari sana. Tapi aku tak benar-benar pergi. Aku sembunyi, mengawasi dia yang menangis tergugu.
Sejak hari itu, aku terus mengawasinya. Dan entah sejak kapan, aku mencintainya.
Begitulah kisahnya.
Maaf Tasya, aku bohong waktu bilang tahu nomormu dari FB. Aku tahu nomormu dari Haga. Maaf, aku telah berbohong. Tapi perasaanku tak pernah berdusta. Aku sangat mencintaimu.
Sekian surat dariku. Semoga kamu bisa mengambil keputusan yang bijak setelah ini. Dan semoga kamu bersedia menjawab pertanyaanku saat kita bertemu nanti. Terima kasih.

Rony Aryanda
Aku menarik nafas dalam-dalam berusaha menenangkan hatiku yang ngilu. Lalu aku memeluk bantalku erat-erat dan menangis menggugu di sana.
– o –

Kolaborasi dengan Nurmita Arum Sari

Sekolahku Tercinta

Pagi ini tepat setelah sholat subuh Dini termenung, bukan karena seminggu lagi dia akan mengadakan akad nikah dengan seorang lelaki yang telah lama dia kagumi. Namun Dini malah memikirkan kondisi sekolah tempat ia mengajar yang kondisinya masih jauh dari kata baik. Dia takut semangat belajar anak didiknya yang begitu tinggi tidak tersalurkan dengan baik dikarenakan kondisi ruangan yang telah lapuk dimakan usia.
Tepat jam 7 pagi, pelajaran pertama di hari ini pun dimulai. Kelas terasa ramai meski hanya terisi oleh 12 orang siswa kelas 3. Hal ini tidaklah jauh berbeda dengan kondisi di dua kelas lainnya, yaitu kelas 1 dan 2. Sedangkan kelas 4, 5, dan 6 harus mulai melakukan aktifitas belajar siangnya dikarenakan 3 ruang kelas yang lain tidak layak untuk digunakan lagi.
Sebelum memulai pelajaran Dini mengabsen satu per satu muridnya. Dini tersenyum waktu melihat antusias dari peserta didiknya yang selalu menyemangati hari-harinya. Dalam senyuman itu terdapat rasa iba yang teramat dalam karena belum bisa memfasilitasi mereka dengan selayaknya.
Waktu istirahat tiba, anak-anak berlarian keluar kelas. Berselang kurang dari satu menit terjadi perbincangan antara 3 orang guru yang selalu mengisi hari-harinya dengan mengajar di sekolah ini dari pagi sampai petang.
“Aku udah nggak betah di sekolah ini. Sepertinya pekan depan aku akan mengajukan surat pengunduran diri mengajar di sini.” Bu Eni memulai percakapan yang membuatku kaget
“Kenapa Bu?” tanya kami
“Sekolah semacam ini tidak berprospek untuk perkembangan karir di masa yang akan datang. Lagipula dengan skill yang kita miliki, kita bisa mengajar di sekolah yang kondisinya jauh lebih baik dengan jumlah murid yang jauh lebih banyak”
“Bukankah pendidikan terbaik itu justru sangat dibutuhkan mereka yang ada di wilayah terpencil seperti ini Bu?”
“Iya Bu Dini, tapi seperti yang aku bilang tadi, karir kita nggak bisa maju kalau di tempat seperti ini.”
Dini termenung. Entah harus berucap apa.
Sepulang sekolah, ketika hendak keluar kelas, Dini dikejutkan dengan seseorang yang hadir di depan pintu kelas. Hafid sudah berdiri disana, melemparkan seutas senyum pada wajah letihnya.
“Pulang bareng yuk” Dini mengangguk.
Mereka pulang dengan berboncengan di motor. Sekitar 5 menit berselang di perjalanan, Hafid mengajak Dini untuk makan bakso di tempat biasa mereka berbincang dari masalah keluarga, sekolah, pekerjaan, dan tentunya cinta yang telah mengakar di hati keduanya.
Sambil menunggu bakso yang mereka pesan, Hafid memulai percakapan dengan bertanya kepada Dini mengenai kabar di sekolah hari ini. “Gimana ngajarnya hari ini?”
“Seperti biasa. Pak Umar dengan gayanya yang kocak telah mampu menghilangkan rasa benci anak-anak akan matematika menjadikan mereka menggandrungi pelajaran itu. Ada pula cerita mengenai anak kelas 5 yang patah hati setelah melihat teman perempuan yang ditaksirnya bergandengan tangan dan berduaan dengan anak yang lain.”
“hehehe. Emang anak SD sudah mengenal cinta ya? Sampai ada yang merasa patah hati.”
“Ya seperti itulah. Namanya juga zaman udah berubah dengan cepatnya.”
“Benar juga. Sekarang anak SD sudah main cinta-cintaan, sedangkan mas dulu baru mengenal cinta waktu SMA.”
“Dan Eni pacar pertama mas, ya kan?”
“Baksonya enak banget ya.”
“Tuh kan dah alihin pembicaraan.”
“Iya maaf. Gimana kabar Eni?”
“Masih tanyain dia aja” jawab Dini dengan nada ngambek, “Emang siapa calon istri mas? Aku atau Eni?”
“Ya adek lah, kan mas sayang sama adek dan sudah melamar adek.”
“Namun itu saja kurang untuk bukti kalau mas sayang sama adek.”
“Jadi adek mau bukti dalam bentuk apa?”
“Pertama, selama 2 bulan ini Pak Sholikin gak bisa ngajar dikarenakan sakit.”
“Selain itu Eni sekarang sudah memutuskan untuk pindah ke sekolah lain yang menurut dia lebih prospek.”
“Mas pernah minta agar bisa ikut ngajar di sekolah kan?”
“Tapi…”
“Tapi kenapa? Kan mas dah punya 2 kios rumah makan, 3 konter Hape dan simpanan untuk bangun rumah kita nanti. Jadi mas bisa mulai ngajar besok kan? Atau kita akhiri hubungan kita ini?”
“Iya dah, mas bersedia dengan tawaran itu.”
“Kedua”
“Apalagi? Belum cukupkah itu?”
“Belum cukup.”
“Jadi apalagi?”
“Adek minta agar uang tabungan yang akan kita gunakan untuk membangun rumah kita nanti dijadikan sebagai mahar untuk perbaikan sekolah tempat adek mengajar saat ini.”
Hafid terdiam sejenak sambil memandang sorot mata Dini yang terlihat serius akan ucapannya. Sungguh kali ini Hafid ingin menangis, “namun apakah pantas seorang lelaki seperti Hafid harus meneteskan air mata di depan wanita yang ia dambakan untuk menjadi seorang pendamping hidupnya?” Tanya Hafid dalam hati.
“Bila mas tidak bersedia, maafkan adek yang telah memaksa mas akan mahar yang nilainya cukup berarti bagi mas nanti. Adek akan tetap bersedia menjadi isteri mas meski mas tidak memberikan mahar yang adek minta tadi.” Dini menanggapi sikap diam Hafid dengan meminta maaf sambil meneteskan air mata penyesalan.
“Mas sangat bersyukur kepada Allah yang telah mempertemukan mas dengan seorang wanita yang luar biasa dan dia sekarang berada di hadapan mas. Bila seandainya dirinya meminta mas agar menjadikan semua tabungan dan profit dari semua usaha mas sampai akhir usaha kelak sebagai mahar untuk menikahinya mas pun rela. Karena tidak mungkin mas temukan orang yang cintanya pada pendidikan melebihi dirinya.”
“Mas Hafid,terima kasih. Adek akan menjadi wanita terbaik yang berada di samping mas nanti.”
“Seharusnya mas berterima kasih pada adek yang telah membuka pintu hati mas.”
==TAMAT==
Kolaborasi dengan Dyah Restyani